JAKARTA (BJN) - Reformasi Polri—sebuah janji yang mahal dan mendesak—kini berada di persimpangan jalan, terancam lumpuh bukan oleh resistensi internal, melainkan oleh ‘ketakutan politik’ Komisi Percepatan Reformasi Polri. Di tengah sorotan tajam dan krisis kepercayaan publik, Komisi terlihat ragu untuk mengajukan rekomendasi penambahan anggaran operasional kepada institusi Polri.
Saat ini, Komisi Percepatan Reformasi Polri di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie, menjadi saksi bisu dari serangkaian keluh kesah dan pembeberan 'kebobrokan' yang menyelimuti institusi kepolisian. Dari aktivis kemanusiaan dan HAM, LBH, Ormas, hingga kalangan Pers, semua pihak seolah-olah memanfaatkan forum audiensi dengan Komisi ini sebagai "tempat buang hajat" untuk menumpahkan segala kritik atas perilaku oknum anggota Polri, dari pangkat terendah hingga jenderal berbintang.
Namun, di tengah derasnya sorotan dan kecaman yang menargetkan Polri secara institusi, kita perlu menarik napas sejenak dan melihat akar permasalahannya lebih dalam. Mengapa institusi sepenting Polri tampak begitu rentan terhadap 'kebobrokan'?
Sorotan pada Gejala, Mengabaikan Akar Masalah
Persoalan di tubuh Polri, memang menjadi objek penderita dari kritik publik. Polisi disorot atas pelanggaran HAM, arogansi kekuasaan, hingga dugaan praktek korupsi.
Kritik ini valid dan perlu ditindaklanjuti. Namun, fokus yang terlalu tajam pada oknum berpotensi mengabaikan sistem yang melingkupinya. Narasi besar yang sering terlupakan adalah keterabaian negara terhadap institusi Polri itu sendiri.
Kemiskinan Struktural sebagai Biang Keladi
Fakta yang jarang diangkat ke permukaan adalah kondisi "kemiskinan struktural" yang melanda aparat kepolisian, terutama di tingkat operasional terbawah, yaitu Polsek.
Anggota Polri sering kali dibebani tugas yang berat, risiko tinggi, dan tuntutan moral yang tinggi, namun dengan tingkat kesejahteraan yang tidak proporsional. Gaji yang pas-pasan dapat menjadi celah bagi anggota untuk mencari "penghasilan tambahan" di luar prosedur, yang kemudian menjelma menjadi pungutan liar (pungli) atau praktik koruptif lainnya.
Keterbatasan anggaran operasional hingga ke tingkat Polsek memaksa anggota di lapangan untuk mencari solusi pendanaan mandiri. Misalnya, dana untuk penyelidikan, patroli, atau bahkan alat tulis kantor seringkali harus diupayakan secara swadaya atau melalui "sumbangan" dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Inilah yang menciptakan lingkaran setan antara kebutuhan operasional dan potensi konflik kepentingan.
Defisit Struktural: Polsek Nggak Mampu Bertugas
Realitas di lapangan, bagi masyarakat pinggiran, jauh dari ideal. Rasio Keamanan Underperformed : Indonesia menghadapi defisit personel yang signifikan. Rasio polisi per warga hanya 166 petugas per 100.000 penduduk (1:602), jauh di bawah standar minimal PBB (1:400). Itu artinya Indonesia kekurangan polisi secara masif.
Meskipun anggaran Polri triliunan rupiah, Polsek di tingkat kecamatan—pintu gerbang negara—kerap menerima alokasi operasional yang minim secara tidak wajar. Pengakuan mantan pimpinan Polri tentang adanya Polsek yang hanya mendapat Rp 200 juta per tahun—hanya cukup untuk operasional empat bulan—menggambarkan krisis pendanaan yang akut.
Anggaran Mininim = Pungli Sebagai Survival Kit
Minimnya dana ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan pemicu utama penyimpangan yang merusak kepercayaan publik. Ketika dana negara untuk operasional (BBM, kertas, biaya penyelidikan) habis, personel Polsek dihadapkan pada dilema etika: menggunakan dana pribadi atau mencari "solusi alternatif" (Pungli) agar penugasan berjalan.
Tekanan operasional ini mengubah Pungli dari kejahatan menjadi mekanisme survival bagi petugas di lapangan. Konsekuensinya, Laporan Pidana Ringan (Tipiring) dan pengaduan masyarakat sering diabaikan atau disertai permintaan biaya tak langsung.
Bagi masyarakat miskin, ini adalah penghalang akses terhadap keadilan. Negara gagal hadir di saat warga paling membutuhkan perlindungan. Lambatnya respons dan adanya tuntutan biaya membuat warga enggan melapor kembali, menciptakan dark figure kriminalitas dan meruntuhkan kredibilitas institusi.
Lihat saja contoh kasus baru-baru ini, seorang anak kos di Bendungan Hilir (Benhil), Tanah Abang, Jakarta Pusat ramai diberitakan media, saat melapor malah diabaikan Polisi usai mendapatkan pelecehan seksual, lalu nekat melapor ke pemadam kebakaran (Damkar). Video petugas Damkar melabrak pelaku pelecehan seksual pun viral di media sosial dan diapresiasi oleh netizen.
Reformasi yang Gagal Menyentuh Anggaran
Reformasi Polri pasca-reformasi 1998 telah berfokus pada aspek struktural, regulasi, dan perbaikan sumber daya manusia. Namun, reformasi anggaran dan kesejahteraan tampaknya berjalan lambat atau bahkan disengaja diabaikan oleh pemangku kebijakan.
Negara seolah membiarkan Polri berjuang dengan sumber daya yang minim, sambil menuntut kinerja dan integritas yang maksimal. Ketika negara sengaja membiarkan institusi vital seperti Polri "miskin", maka negara secara tidak langsung menciptakan lahan subur bagi perilaku menyimpang.
Aparat yang tertekan secara ekonomi dan operasional akan lebih mudah terjerumus dalam praktik 'kebobrokan' demi memenuhi kebutuhan hidup dan tuntutan pekerjaan.
Rekomendasi Tegas: Anggaran Bersyarat Adalah Mandat, Bukan Reward
Baru-baru ini Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Jenderal Purn. Pol. Badrodin Haiti Badrodin, sempat menjawab pernyataan penulis terkait masalah minimnya anggaran di polsek-polsek untuk pelayanan publik kepada komisi, saat hadir audiensi bersama Forum Masyarakat Indonesia Emas.
Ia mengaku saat dirinya menjabat Kapolri, pernah menerima laporan ada satu Polsek yang hanya menerima anggaran 200 juta per tahun dan dengan tuntutan operasional yang tinggi ternyata anggaran tersebut hanya bisa menutupi 4 bulan operasional pelayanan Polsek.
Sisanya anggaran, kata Badrodin, dicari alternatif yang salah untuk menutupinya dengan memeras dan pungli. Ia pun mengaku usulan pengajuan anggaran untuk mengatasi persoalan ini boleh saja, tapi memang sangat sulit karena membutuhkan ketersediaan anggaran besar.
Atas kondisi tersebut, Komisi sudah seharusnya mengubah sudut pandangnya. Menahan anggaran esensial Polsek adalah tindakan kontraproduktif karena justru menghukum masyarakat dan melanggengkan praktik Pungli.
Anggaran adalah prasyarat minimum reformasi, bukan hadiah. Komisi harus berani mengajukan Paket Reformasi Terintegrasi dengan syarat yang ketat kepada Presiden. Alokasi dana tambahan harus ditekankan sebagai Kewajiban Negara untuk Reformasi Pelayanan Publik, yang bertujuan menjamin Laporan dan Penyidikan Tipiring berjalan Gratis dan Responsif.
Membangun Polisi Berintegritas, Memerlukan Keberpihakan Negara
Komisi Reformasi tidak hanya harus mendengarkan keluhan tentang oknum, tetapi juga harus mendorong negara untuk bertanggung jawab atas kondisi institusi. Jika kritik diibaratkan membersihkan kotoran, maka negara harus menyediakan sistem sanitasi yang layak, yaitu anggaran dan kesejahteraan yang memadai, agar kotoran itu tidak terus menumpuk.
Reformasi Polri sejati harus dimulai dari melepaskan Polri dari jerat kemiskinan struktural. Polisi yang berintegritas dan profesional hanya akan terwujud jika negara berhenti abai dan mulai berani berinvestasi secara signifikan pada gaji yang layak dan anggaran operasional yang mencukupi hingga ke tingkat Polsek.
Tanpa keberpihakan negara ini, Polisi hanya akan terus-menerus menjadi sasaran bagi kritik yang tak berujung, sementara akar masalahnya tetap tumbuh subur.
Sorotan yang Nyaman: Komisi yang Enggan Turun ke Akar Rumput
Ironisnya, Komisi yang dibiayai oleh negara untuk mempercepat reformasi ini justru tampak malas untuk turun langsung ke jantung persoalan di akar rumput. Komisi terlihat lebih nyaman dan pragmatis menerima masukan dari kaum elit, aktivis level nasional, dan lembaga formal di ruang-ruang ber-AC Jakarta.
Pendekatan ini menciptakan jarak antara Komisi dengan realitas pelayanan Polri di tingkat terendah. Tim ini cenderung berfokus pada analisis kebijakan makro dan kasus-kasus viral, ketimbang turun ke Polsek-Polsek terujung atau berdialog langsung dengan masyarakat terbawah yang merasakan langsung denyut nadi pelayanan Polri sehari-hari.
Akibatnya, Komisi hanya mendapatkan gambaran 'kebobrokan' di permukaan, berupa laporan dari mereka yang memiliki akses dan suara lantang.
Komisi terlihat gagal merasakan betapa minimnya anggaran operasional sebuah Polsek, betapa beratnya beban kerja seorang Bhabinkamtibmas, dan betapa tertekannya anggota kepolisian di lapangan akibat keterbatasan sumber daya.
Komisi hanya mendengar suara kebisingan, tetapi gagal menyentuh denyut nadi persoalan.
Belum lagi ditambah masalah di sektor lain di kepolisian. Seperti halnya korupsi sistemik di layanan sentral seperti SIM/STNK dan penegakan hukum berat.
Pungli SIM/STNK sama saja Barter Nyawa dengan Uang. Komisi harus melihat kenyataan di lapangan marak praktek Jasa kilat pengurusan SIM dan STNK makin memperparah praktik Pungli.
Dampak langsungnya? Pengurusan SIM memang menjadi sangat mudah, namun meloloskan calon pengemudi dan pengendara motor/mobil yang tidak kompeten itu sangat berbahaya.
Konsekuensinya, angka kecelakaan dan korban jiwa menjadi sangat tinggi di seluruh Indonesia. Pungli SIM bukan hanya korupsi, tapi kejahatan kemanusiaan yang diukur dengan nyawa di jalan raya.
Pada peghujung tahun 2024, Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jenderal Polisi Aan Suhanan merilis data kecelakaan lalulintas, setidaknya 3 hingga 4 orang tewas karena kecelakaan setiap jamnya sepanjang tahun 2024. Sedikitnya 1.150.000 kecelakan terjadi dalam kurun waktu Januari-Desember 2024 dan menewaskan sekitar 27.000 jiwa.
Sementara itu tak kalah dahsyat, dalam kasus pemberantasan Narkoba, pasal pidana berat dan denda miliaran rupiah yang menjerat pelaku sering kali menjadi alat pemerasan yang dilakukan oleh oknum anggota Polri dan atasannya untuk membebaskan tersangka dari jerat pidana.
Hukum yang seharusnya keras justru diperjualbelikan demi memperkaya oknum. Padahal, di awal November ini, Badan Narkotika Nasional (BNN) telah mengungkapkan sekitar 50 orang di Indonesia meninggal setiap hari akibat narkoba atau mencapai 18 ribu orang per tahun, dengan rentang usia korban didominasi kelompok muda 14 hingga 25 tahun.
Jadi, melihat kondisi seperti diuraikan di atas, Reformasi sejati hanya akan terwujud ketika negara berani berinvestasi pada pelayanan publik yang bebas dari biaya dan cepat respons. Inilah saatnya Komisi Reformasi membuktikan keberaniannya untuk melayani kepentingan publik di atas citra politik.
Jangan sampai timbul sorotan dari anak jaman now - Gen Z yang bisa saja nyeletuk : “Ini tuh namanya mindset elite yang nggak nyambung sama realita. Mereka takut kena cibiran netizen daripada benerin masalah di lapangan. Kalau Komisi terus takut sama omongan orang Jakarta, ya sudah, Reformasi Polisi itu cuma sandiwara! Kita yang di bawah ini akan terus tercekik sama ketidakadilan dan Pungli. Tolonglah, Pak, Bu! Mikirin kita juga!.”
Penulis : Heintje G Mandagi, (Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia )
*** : Deri
Redaksi : Novel Ruchyadi



