-->
  • Jelajahi

    Copyright © Berita Jejaring
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Top ads

    PENDIDIKAN

    Menghianati Sejarah, Perlukah Mandat Penguatan Peran Dewan Pers Dicabut ?

    Redaksi
    Rabu, 21.4.21 WIB Last Updated 2021-04-21T12:59:55Z

    Heintje G. Mandagie Ketua Umum DPI/SPRI/ (Foto.Redaksi)

    JAKARTA (BJN) - Keterangan itu pun harus diuji beradasarkan peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi menyangkut syarat pendirian LSP dan konfirmasi langsung ke Ketua BNSP. Sampai hari ini belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Ketua BNSP kepada publik terkait persyaratan LSP di bidang pers.

    Dari sistem sertifikasi kompetensi nasional yang berlaku selama ini mengacu pada PP Nomor 10 Tahun 2018 tentang BNSP. Jadi aturan dan perangkat hukumnya jelas.

    Apapun keputusan pemerintah wajib hukumnya bagi semua LSP termasuk LSP Pers Indonesia mentaatinya.

    Dewan Pers sebagai lembaga independen sebaiknya legowo menerima masukan dan terbuka menerima kenyataan jika melakukan kekeliruan. Tidak perlu marah atau malu. Kelompok pers yang dilabeli abal-abal pun selama ini tetap menjalankan aktifitas meski dipotret abal-abal. 

    Nah jika sekarang label abal-abal itu berusaha dilepas, maka kepentingan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang didirkan untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional harusnya berterima kasih bukannya kebakaran jenggot. Tujuan utama dari pendirian LSP Pers Indonesia adalah untuk meletakan pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan pada jalur yang benar agar tidak melanggar undang-undang dan berpotensi dipidana.


    Publik akan menilai kenegarawan seorang Muhammad Nuh pada persoalan ini. Situasi ini menjadi ujian bagi Muh Nuh dan para anggota Dewan Pers, apakah kompeten sebagai Anggota Dewan Pers atau tidak. Jika ada kelompok yang selama ini dituding abal-abal dan kemudian membuktikan bahwa apa yang dituduhkan selama ini tidak benar dan justeru membuka mata semua pihak yang selama ini mempraktekan sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang dan melangar hukum,  perlukah dilawan dengan cara-cara yang melanggar kode etik jurnalistik ?

    Pada prinsipnya penulis pernah melewati menjadi reporter yang gajinya pas-pasan, sampai berada pada posisi tertinggi di keredaksian yakni pimpinan redaksi di sebuah harian lokal dan televisi lokal. Lahir dan besar dari keluarga wartawan, menjadi kebanggaan tersendiri.

    Penulis membuat gerakan kemerdekaan pers di Jakarta bersama sejumlah pimpinan organisasi pers, kemudian membentuk Dewan Pers Indonesia sebagai wujud implementasi upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan peningkatan kehidupan pers nasional.

    Dewan Pers Indonesia berusaha mengisi kekosongan yang ada dengan membentuk Dewan Pers Indonesia Perwakilan Provinsi dengan tujuan agar semua pengaduan masyarakat terkait sengketa pers bisa dilayani di tingkat daerah namun masih terganjal aturan dan sistem.

    Selanjutnya, pendataan media terhadap perusahaan pers yang dilakukan Dewan Pers Indonesia bertujuan untuk mempermudah warga negara Indonesia mendirikan media.

    Untuk meningkatkan kehidupan pers nasional atau peningkatan kesejahteraan pers, Dewan Pers Indonesia berusaha menyusun Draft APBD tentang belanja iklan nasional agar terdistribusi hingga ke daerah-daerah. Dan dengan cara ini media lokal akan sejahtera dan kerja sama media dengan pemerintah daerah tidak perlu lagi dilakukan demi menjaga indpendensi pers. Jika perusahaan pers bisa mendapatkan porsi belanja iklan maka diyakini wartawan makin sejahtera dan independen. Sumatera Utara menjadi target pertama pembahsan ranperda belanja iklan ini karena Ketua DPRD dan pemeritah setempat memahami potensi ini.

    Pilihan dan upaya ini yang sedang dilakukan DPI karena Dewan Pers tidak mampu menjalankan peran itu.

    Bicara kemerdekaan pers jika tidak dibarengi dengan upaya menciptakan pendapatan perusahaan maka semua pasti akan sia-sia. Income perusahaan media sudah pasti sebagian besar diperoleh dari jasa menyediakan sarana promosi produk melalui iklan di media. Hal inilah yang harus diperjuangkan. Bukannya DP sibuk urusin kerja sama pemerintah dengan media yang nilainya sangat kecil sekali dan idealisme pers jadi taruhan.

    Dampak rendahnya kesejahteraan wartawan dari segi kompetensi, misalnya wartawan dengan modal 3 buah sertifikat kompetensi sekalipun jika tidak sejahtera, maka pada gilirannya akan ikut menerima amplop saat menjalankan profesinya. Jika kompetensi seseorang turut dipengaruhi tingkat kesejahteraan maka tidak bisa tidak, upaya tersebut harus diperjuangkan.

    Apalah arti semua wartawan di UKW jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan atau kemampuan finasial media dan wartawan, maka ukuran kompetensi wartawannya menjadi tidak berkompeten. Fakta ril di lapangan ada ratusan wartawan, dan mungkin ada ribuan, yang bersertifikat UKW tapi tidak menerima gaji dari media tempatnya bekerja. Dewan Pers harus mampu menjelskan ke publik tentang jaminan kompetensinya apakah bisa terlaksana di lapangan jika kondisi kesejahteraan wartawan dan media masih seperti ini. **** (Heintje G. Mandagie)




    Redaksi: Novel Ruchyadi

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini